Minggu, 21 Februari 2016

Makalah : Ulumul Qur'an Mengenai Pengertian Munasabah




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Kami menulis makalah ini, untuk memenuhi tugas makalah, dengan mata kuliah ulumul qur’an. Alasan perlunya makalah ini kami buat untuk mengetahui ulumul qur’an khususnya tema munasabah.
B.     MASALAH ATAU POKOK PERMASALAHAN
1.      Pengertian Munasabah
2.      Macam-macam Munasabah
3.      Sumber-sumber Munasabah
4.      Istilah-istilah Munasabah

C.    TUJUAN PENULISAN MASALAH
Mempermudah mahasiswa dan dosen dalam kegiatan belajar mengajar, dan juga semoga maklah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa stain kudus, khususnya jurusan tarbiyah.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ILMU AL MUNASABAH
Secara etimologos, Munasabah berasal dari kata  يناسب مناسبة yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. المناسبة sama artinya dengan المقاربة yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya.; النسيب artinya القريب المتصل (dekat dan berkaitan).[1] Dan kata al Munasabah yang berasal dari kata nasaba (ناسب ) berarti aptut, perhubungan (korelasi) dan persesuaian (relevansi).[2] An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan. Adapun secara terminologis, munasabah adalah hubungan atau pertalian antara satu ungkapan dengan ungkapan yang lainnya dalam satu ayat, atau ayat dengan ayat, atau antara satu surat dengan surat lainnya.[3]
Dengan demikian dapat ditarik pemahaman bahwa ilmu Munasabah adalah ilmu yang menerangkan persesuaian antara satu ayat dengan ayat yang berada di depannya maupun yang berada di belakangnya,[4] atau merupakan ilmu yang menerangkan korelasi antara suatu ayat dengan ayat yang lain atau surat dengan surat, baik yang ada di belakangnya ataupun yang ada di mukanya.
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi)  bahwa Munasabah adalah ada-nya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna antara ayat dan macam-macam hubungan, atau kemestian dalam fikiran (nalar).
Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat dicari penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat secara parsial (pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Qur’an, maka ia harus dipahami secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Qur’an tidak dipahami secara utuh dan terkait, Al-Qur’an akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan akan datang. Sehingga Al-Qur’an tidak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia. Jadi, tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang Ulumul Quran tema munasabah hampir tak pernah terlewatkan .
Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.
Menurut istilah, ilmu munasabah / ilmu tanasub al Ayat wa as suwar oleh Abu Bakar an Naisaburi ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian Al-Qur’an yang mulia.[5]
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat Al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus / antara abstrak dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lulnya, ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dalam menjangkau sinar petunjuknya.

  1. PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA DISEKITAR MUNASABAH
1.      Tertib Surah dan Ayat
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al-Quran adalah taukifi , artinya penetapan dari Rasul. Sementara tertib surah dalam Al-Quran masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan. Dalam hal ini ada tiga golongan:
Tertib Surah berdasarkan ijtihad para sahabat, pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama’ Seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakar At-Thibb. Beberapa alasan mereka:
1)      Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2)      Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3)      Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.
4)      Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.
Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi). Di antara ulama yang  yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
a)      Ijma’ sahabat terhadap mushaf UtsmanIjma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilikmushaf lainnya akan berpegang teguh pada mushafnya.
b)      Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi. Dengan meneliti pembagian yang dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian Al-Quran dalam tujuh bagian yang seimbang.
c)      Hadis Ibn Abbas tentang alasan penyatuan surat At-Taubah dan Al-Anfal. Ibn Hajar menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan bahwa susunan Al-Quran taukifi, hanya karna Nabi tidak menjelaskan kepada Usman, maka surat At-Taubat disatukan dengan surah Al-Anfal. Selanjutnya Ibn Hajar menyatakan dalam mushaf Ibn Mas’ud  terdapat basmalah di  awal surat At-Taubah, tetapi tidak diambil oleh lembaga.
d)     Nabi sering membaca Al-Quran dengan tertib surat yang ada pada sekarang.
   Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif  Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal”. Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini. Dan alasan lainnya:
  Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.

2.      Tentang Munasabah
Ilmu munasabah yang juga disebut dengan “Tanasubil Aayati Wassuwari” pertama kali di cetus oleh  Imam Abu Bakar An-Naisaburi (wafat tahun 324 H), Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqai yang menulis kitab “Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan As-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq Al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
Pada bagian ini muncul pertanyaan, apakah ilmu munasabah itu ada atau tidak?, dari pertanyaan ini muncul dua pendapat yang berbeda sebagai jawabannya. Pertama, pihak yang mengatakan secara pasti pertalian yang erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat (munasabah). Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh ‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd Al-‘Aziz Ibn, Abd As-Salam (577-600 H).
Menurut aliran ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya kaitan pembicaraan (الكلام ارتبط ) itu bila antara permulaan dan  akhiranya terkait menjadi satu. Apabila hubungan itu terjadi dengan sebab yang berbeda-beda, tidaklah diisyaratkan adanya pertalian salah satunya dengan yang lain.
Kalau Al-Munasabah ditinjau secara terminologis, dalam hal ini munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang di peroleh secara Aqli dan bukan  di peroleh secara tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu. Demikian Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang persoalan munasabah. 
 Pendapat lain yang mengatakan adanya munasabah dalam Al-Quran juga di kemukakan oleh Mufassir, diantaranya As-Syuyuti, Al-Qaththan, Fazlurrahman Dll.
Pihak keduamengatakan bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, sebab pristiwa-pristiwa tersebut  saling berlainan. Al-Quran disusun dan diturunkan serta diberi hikmah secara tauqifi dan tersusun atas petunjuk Allah.
Terlepas dari kedua pendapat diatas , munasabah telah merupakan bagian tak terpisahkan dari ‘ulum Al-Quran. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi atau tauqifi barangkali akan dapat dijawab ketika memperhatikan telaah tentang kaitan ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
  1. Macam-macam Munasabah
Pada garis besarnya munasabah itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan dan hubungan surat dengan surat.
 Dua pokok hubungan itu di perincian sebagai berikut :
A.    Hubungan Ayat dengan Ayat meliputi :
1)      Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat
Fakhruddin Ar-Razi menyatakan bahwa “kehalusan / kelembutan” Al-Quran terletak pada keserasian tata urut dan hubungan-nya. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sebaik-baiknya pembicaraan adalah yang bagian satu berkaitan dengan bagian lain sehingga tak terputus. Shubhi As-Shaleh. menegaskan bahwa bahwa para ulama mensyaratkan adanya  munasabah dalam ayat itu apabila dua ayat atau lebih itu saling berhampiran.
Hubungan antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat Al-Quran. Ayat yang satu dengan ayat lain adakalanya muncul secara jelas menunjukkan hubungan kalimat satu dengan kalimat lainnya. Hubungan itu memberikan kejelasan satu sama lain tentang maksud keseluruhan ayat.
Namun, ada juga hubungan yang tidak jelas. Kandungan makna suatu ayat menjadi kabur karena  kaitan kalimat satu dengan kalimat lain tidak di pahamkan secara utuh. Hubungan “tidak” yang mengakibatkan samar-nya makna suatu ayat bila dikaitkan dengan kalimat berikutnya dipersambung oleh ma’tuf  معطوف (huruf athof). Muhammad ‘Abduh memberikan tekanan dan perhatian pada ayat-ayat yang dimulai dengan  ياايهالذى امنو . Tetapi Al-Baqi’i justru menyatakan bahwa semua ayat bahkan kalimat-kalimat dalam Al-Quran mempunyai ikatan satu sama lain.
Hubungan antara ayat dengan ayat dalam Al-Quran terbagi dalam dua macam. Pertama, hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang dibahas kemudian. Hubungan  ini  dapat berbentuk  اعتراض , تشديد , dan تفسير.
Kedua,hubungan belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hubungan demikian terdiri dari dua macam lagi, yaitu    لا تكون معطفةdan تكون معطوفة .
2)      Hubungan ayat dengan ayat dalam surat.
3)      Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.
B.     Hubungan Surat dengan Surat meliputi :
1)      Hubungan awal uraian dengan ahir uraian surat.
2)      Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.
3)      Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
4)      Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya.


[1] As Suyuthi, al Itqan, II, hal 449
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, hal 449
[3] Manna’ Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an, hal 97
[4] Hasbi ash Shiddiqqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al Qur’an/ Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hal 106
[5] As Suyuthi

Sabtu, 20 Februari 2016

Cara Mengetahui Munasabah dan Contoh Munasabah serta Manfaatnya Munasabah



Cara mengetahui munasabah dan Contohnya
Cara mengetahui munasabah :
1.      Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2.      Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3.      Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4.      Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan ungkapan-ungkapan bahasannya dengan benar dan tidak berlebih-lebihan.

Contoh munasabah :
1.      Munasabah antar nama Surat.
Contoh :
Surat Muhammad atau Al-Qital ayat 47 artinya perang, dan Al-Fath ayat 48 artinya kemenangan.

2.      Munasabah antar awal Surat dengan akhir Surat.
Contoh :
            Al-Qur’an Surat Al-Baqarah dimulai dengan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang yang beriman, dan beriman terhadap kitab terdahulu dan pada akhir surat membahas tentang keimanan Rosulullah beserta kaum mukminin terhadap kitab-kitab terdahulu.

3.      Munasabah antara akhir Surat dengan awal Surat berikutnya.
Contoh :
Bagian akhir surat Al-Fatihahmenerangkan tentang do’a-do’a orang yang beriman, agar ALLAH melimpahkan hidayah kepada mereka (jalan yang lurus) bermunasabah dengan awal surat Al-Baqarah: inilah kitab Al-Qur’an yang tidak ada keraguan sama sekali apa yang ada didalamnya, dan sekaligus merupakan petunjuk (hidayah) bagi orang yang bertaqwa.

4.      Munasabah antar surat secara umum dengan surat berikutnya.
Contoh :
            Antara surat Al-Fatihah dengan surat Al-Baqarah. Surat Al-Fatihah meliputi pokok-pokok ajaran, sedangkan perinciannya terdapat dalam surat Al-Baqarah.

5.      Munasabah antar ayat.
Contoh :
            Surat Al-Ghaasyiyah ayat 17-20
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ   n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ  
17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Keempat ayat tersebut menjelaskan tentang penggabungan antara onta, langit, gunung-gunung, dan bumi. Keempat ayat tersebut merupakan objek pembicaraan yang terjadi dikawasan padang pasir. Maka mereka disuruh memikirkan bagaimana ALLAH menurunkan hujan dari langit dan onta adalah tunggangan mereka sehari-hari dipadang pasir.

Manfaat mempelajari ilmu munasabah :
1.      Dapat membantu memahami ta’wil ayat.
2.      Dapat mengetahui makna-makna Al-Qur’an dan ‘ijaznya.
3.      Dapat mengetahui kedudukan suatu ayat yang terkadang sebagai penguat ayat sebelumnya/keterangan/tafsir/selingan.
4.      Dapat mengetahui kondisi dan situasi yang merupakan latar belakang adanya suatu peristiwa.
5.      Dapat mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat akhir dan awal-awal ayat suatu surat/sebaiknya.

Istilah munasabah :
            Istilah munasabah menurut para mufassir :
1.      Ar-Razi = Ta’alluq
2.      Sayyid Quthub = Irtibath
3.      Sayyid Rasyid Ridha = Al-Ittisal dan At-Ta’lil
4.      Al-Alusi = Tartib