Kamis, 21 Januari 2016

Makalah : Filsafat tentang teori kritisisme oleh Immanuel Kant

MAKALAH FILSAFAT TEORI KRITISISME IMMANUEL KANT
 

BAB I
PENDAHULUAN
      1.1    Latar Belakang
Filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat atas kebenaran sesuatu atau studi yang membahas tentang fenomena kehidupan dan pemikiran mausia secara kritis. Ada banyak filusuf-filusuf yang terkenal dengan pemikirannya masing-masing dan filusuf yang terkenal dalam pemikiran kritisisme adalah Immanuel Kant.
Kant mengatakan bahwa filsafat yaitu ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi. Menurut Kant kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yaitu Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume.
Untuk lebih jelasnya kita mempelajari filusuf tentang kritisisme yaitu Immanuel Kant kita lebih baiknya mengetahui lebih dalam tentang Immanuel Kant, yaitu tentang biografinya maupun dan tentang pemikirannya.

1.2    Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.        Apa yang dimaksud dengan kritisisme?
2.        Bagaimana ciri-ciri kritisisme?
3.        Bagaimana biografi dan Kritisisme Immanuel Kant?
4.        Bagaimana pemikiran-pemikiran Immanuel Kant?


1.3    Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan dalam penulisan makalah Kritisisme ini yaitu supaya pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang biografi dan Kritisisme Immanuel Kant. Serta lebih mengetahui apa yang dimaksud dengan kritisisme dan mengetahui isi karya-karya Kant.





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................        1
DAFTAR ISI................................................................................................        2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................        2
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................        2
1.3 Tujuan Pembahasan..................................................................................        2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kritisisme...............................................................................        3
2.2 Ciri-ciri Kritikisme....................................................................................        5
2.3 Riwayat hidup Immanuel Kant................................................................        5
2.4 Pemikiran Immanuel Kant........................................................................        6
BAB II  PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................        14
DAFTAR PUSTAKA












BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Kritisisme
Kritisisme adalah aliran yang lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang terbentuk sebagai ketidakpuasan atas aliran rasionalisme dan empirisme. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan immanuel kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika.
2.2    Ciri-ciri Kritikisme
Ciri-ciri kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut:
Ø  Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
Ø  Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.
Ø  Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu di peroleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximenes priori (persangkaan) yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi

2.3    Riwayat hidup Immanuel Kant sang  pelopor kritisisme
Immanuel Kant adalah seroang filosof besar yang muncul dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad 18. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur, pada tanggal 22 April 1724. Kant lahir sebagai anak keempat dari suatu keluarga miskin. Orang tua Kant adalah pembuat pelana kuda dan penganut setia gerakan Peitisme. Pada usia 8 tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme.[1]


2.4     Pemikiran Immanuel Kant
Perkembangan pemikiran kant megnalami empat periode;
  1. Periode pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz Wolf, yaitu samapi tahun 1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik
  2. Periode kedua berlangsung antara tahun 1760 – 1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme. Periode ini sering disebut periode empiristik
  3. Periode ketiga dimulai dari inaugural dissertation-nya pada tahun 1770. Periode ini bisa dikenal sebagai tahap kritik.
  4. Periode keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode ini Kant megnalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Karya Kant yang terpenting pada periode keempat adalah Religion within the Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan esei berjudul Eternal Peace (1795).[2]
2.4.1   Akar-akar Pemikiran Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme (pandangan hidup atau ajaran yg mengakui adanya Tuhan sbg pencipta alam semesta, tetapi tidak mengakui agama krn ajarannya didasarkan atas keyakinannya pd akal dan kenyataan hidup)yaitu suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal.
Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar berbeda sama sekali dengan metafisikan pra kant.
a.      Pengaruh Leibniz dan Hume
Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran empirisisme.
Di sini jelas, bahwa epistemologi ala Leibniz bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume megnajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenai sesuatu terjadi setelah itu dialami terlebih dahulu.
b.      Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah
Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan:
Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.

1. Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a.  Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
b.  Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c.  Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’. Pengertian kant mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan Newton. Kalau Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant megnatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas.
Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung, tetapi ia merupakan kondisi formal dari fenomena apapun, dan bersifat apriori.
Yang bisa diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya saja, yang  tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran manusia.
b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan bantuan fantasinya (Einbildungskarft). Pengetahuan akal budi baru dieroleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis-empiris.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu), sedangkanimperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical)atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=solen). Menurut kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Kant, pada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.

3. Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.




c.       Idealisme Transedental : Sebuah Konsekuensi
Tidak mudah memahami kant, terutama ketika sampai pada teorinya: realisme empirikal (Empirical realism) dan Idealisme transendental (transendental idealism), apalagi jika mencoba mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu. Istilah “transenden” berhadapan dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-sama merupakan term epistemologis, namun sudah tentu mengandung maksud yang berbeda; yang pertama berarti independent dari pengalaman (dalam arti transenden), sedang yang terakhir disebut berarti imanen dalam pengalaman. Begitu saja “realisme” yang berlawanan dengan “idealisme”, adalah dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: “lepas dari eksistensi subyek” (independet of my existance) dan “bergantung pada eksistensi subyek” (dependent of my existence). Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley sudah tentu seorang empirisis, tetapi ia sekaligus muncul sebagai seroang idealis. Sementara Descartes bisa disebut seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara umum, independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui esensinya melalui idea bawaan(innate ideas) secara “clear and distinct”, bukan melalui pengalaman. Inilah yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang “realis transendental”.[3]









BAB III
KESIMPULAN
Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.













DAFTAR PUSTAKA
S.Praja.Juhaya,Aliran-aliran filsafat dan etika.Cet II;Jakarta:Prenada Media 2003.
Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum. Cet V; Jakarta: RajaGrafindo Persada.2003.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Belukar, 2004.



[1] S.Praja.Juhaya,Aliran-aliran filsafat dan etika.Cet II;Jakarta:Prenada Media 2003.
[2] Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum. Cet V; Jakarta: RajaGrafindo Persada.2003.
[3] Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Belukar, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar