MAKALAH FILSAFAT TEORI KRITISISME IMMANUEL KANT
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Filsafat
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat atas kebenaran sesuatu atau studi yang
membahas tentang fenomena kehidupan dan pemikiran mausia secara kritis. Ada
banyak filusuf-filusuf yang terkenal dengan pemikirannya masing-masing dan
filusuf yang terkenal dalam pemikiran kritisisme adalah Immanuel Kant.
Kant mengatakan
bahwa filsafat yaitu ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat
persoalan yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi. Menurut Kant
kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yaitu
Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori
oleh David Hume.
Untuk lebih
jelasnya kita mempelajari filusuf tentang kritisisme yaitu Immanuel Kant kita
lebih baiknya mengetahui lebih dalam tentang Immanuel Kant, yaitu tentang
biografinya maupun dan tentang pemikirannya.
1.2 Rumusan
Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini antara lain:
1.
Apa yang
dimaksud dengan kritisisme?
2.
Bagaimana ciri-ciri
kritisisme?
3.
Bagaimana biografi
dan Kritisisme Immanuel Kant?
4.
Bagaimana
pemikiran-pemikiran Immanuel Kant?
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan dari
pembahasan dalam penulisan makalah Kritisisme ini yaitu supaya pembaca dapat
mengetahui lebih dalam tentang biografi dan Kritisisme Immanuel Kant. Serta
lebih mengetahui apa yang dimaksud dengan kritisisme dan mengetahui isi
karya-karya Kant.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. 1
DAFTAR ISI................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah........................................................................... 2
1.2 Rumusan
Masalah.................................................................................... 2
1.3 Tujuan
Pembahasan.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kritisisme............................................................................... 3
2.2 Ciri-ciri Kritikisme.................................................................................... 5
2.3 Riwayat hidup Immanuel Kant................................................................ 5
2.4 Pemikiran Immanuel Kant........................................................................ 6
BAB II PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kritisisme
Kritisisme
adalah aliran yang lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang terbentuk sebagai
ketidakpuasan atas aliran rasionalisme dan empirisme.
Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio
sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu kritisisme sangat berbeda
dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara
mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan immanuel kant tentang teori
pengetahuan, etika dan estetika.
2.2 Ciri-ciri Kritikisme
Ciri-ciri kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut:
Ø Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada
objek.
Ø
Menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya
saja.
Ø Menjelaskan bahwa
pengenalan manusia atas sesuatu itu di peroleh atas perpaduan antara peranan
unsur anaximenes priori (persangkaan) yang berasal dari rasio serta berupa
ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang
berupa materi
2.3 Riwayat hidup Immanuel Kant sang
pelopor kritisisme
Immanuel
Kant adalah seroang filosof besar yang muncul dalam pentas pemikiran
filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad 18. Ia lahir di
Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur, pada tanggal 22 April
1724. Kant lahir sebagai anak keempat dari suatu keluarga miskin. Orang tua
Kant adalah pembuat pelana kuda dan penganut setia gerakan Peitisme. Pada usia
8 tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium
Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme.[1]
2.4 Pemikiran Immanuel Kant
Perkembangan pemikiran kant
megnalami empat periode;
- Periode pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz Wolf, yaitu samapi tahun 1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik
- Periode kedua berlangsung antara tahun 1760 – 1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme. Periode ini sering disebut periode empiristik
- Periode ketiga dimulai dari inaugural dissertation-nya pada tahun 1770. Periode ini bisa dikenal sebagai tahap kritik.
- Periode keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode ini Kant megnalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Karya Kant yang terpenting pada periode keempat adalah Religion within the Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan esei berjudul Eternal Peace (1795).[2]
2.4.1 Akar-akar Pemikiran Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak
perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang
menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa
itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama
paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 –
1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris,
mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya
pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme
(pandangan
hidup atau ajaran yg mengakui adanya Tuhan sbg pencipta alam semesta, tetapi
tidak mengakui agama krn ajarannya didasarkan atas keyakinannya pd akal dan
kenyataan hidup), yaitu
suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural
Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang
mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia
diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah
memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai
dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada
Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud paham ini adalah
menaklukkan wahyu ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku
Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama
dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja.
Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran
adalah akal.
Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah
laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran
filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar berbeda
sama sekali dengan metafisikan pra kant.
a.
Pengaruh
Leibniz dan Hume
Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran
pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz
tampil sebagai tokoh penting dari aliran empirisisme.
Di sini jelas, bahwa epistemologi ala Leibniz bertentangan
dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia
adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa
diturunkan kebenaran yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume megnajarkan bahwa
pengalamanlah sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenai sesuatu
terjadi setelah itu dialami terlebih dahulu.
b.
Epistemologi
Kant, Membangun dari Bawah
Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan
menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman
dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan
itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri,
sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang
barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
Mendapatkan inspirasi dari “Copernican
Revolution”, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia
memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda
yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan
karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia
tangkap. Kant mengatakan:
Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang
Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh
dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki
perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia
sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat
kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang
memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas
rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas
daya pertimbangan.
1. Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri
pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu
ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a. Putusan analitis apriori;
dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah
termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
b. Putusan sintesis aposteriori,
misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek
berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin)
mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c. Putusan sintesis apriori;
disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis,
namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi
“segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak,
namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab
di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi
dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusun
atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
Tiga tingkatan pengetahuan manusia,
yaitu:
a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant
dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek
pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’. Pengertian kant mengenai ruang
dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan Newton. Kalau
Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant megnatakan bahwa
keduanya adalah apriori sensibilitas.
Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur
subjek. Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan;
ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an
sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan
berlangsung, tetapi ia merupakan kondisi formal dari fenomena apapun, dan
bersifat apriori.
Yang bisa diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena
atau penampakan-penampakannya saja, yang tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur
yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan
waktu di dalam struktur pemikiran manusia.
b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi
secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data
indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja
dengan bantuan fantasinya (Einbildungskarft). Pengetahuan akal
budi baru dieroleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi
dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan
‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri
manusia.
c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’,
petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’
merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas
intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat
dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan
indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan
idea-idea argumentatif.
Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa
mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut
kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di
dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak
tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia
dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan
“benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya
merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar
jangkauan pembuktian teoretis-empiris.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang
perseorangan (individu), sedangkanimperative (perintah) merupakan
azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan.
Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan
bersyarat (hypothetical)atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif
kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan
formal (=solen). Menurut kant, perbuatan susila adalah
perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan
terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).Sikap inilah
penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Kant, pada
akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung
adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat
rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.
Pemikiran
etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut
dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan
sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis
‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.
3. Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah
mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan
konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif.
Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia
sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan
finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari
benda-benda alam.
c.
Idealisme
Transedental : Sebuah Konsekuensi
Tidak mudah memahami kant, terutama ketika sampai pada
teorinya: realisme empirikal (Empirical realism) dan Idealisme
transendental (transendental idealism), apalagi jika mencoba
mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu. Istilah “transenden” berhadapan
dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-sama merupakan term epistemologis,
namun sudah tentu mengandung maksud yang berbeda; yang pertama berarti independent
dari pengalaman (dalam arti transenden), sedang yang terakhir disebut
berarti imanen dalam pengalaman. Begitu saja “realisme” yang
berlawanan dengan “idealisme”, adalah dua istilah ontologis yang masing-masing
bermakna: “lepas dari eksistensi subyek” (independet of my
existance) dan “bergantung pada eksistensi subyek” (dependent
of my existence). Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley
dan Descartes. Berkeley sudah tentu seorang empirisis, tetapi ia sekaligus
muncul sebagai seroang idealis. Sementara Descartes bisa disebut seorang realis
karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara umum, independen dari
kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui esensinya melalui
idea bawaan(innate ideas) secara “clear and distinct”, bukan melalui pengalaman. Inilah yang kemudian
membuat Descartes sebagai seorang “realis transendental”.[3]
BAB
III
KESIMPULAN
Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua
pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran
substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak
mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula
pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua
pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk
dinyatakan sebagai kebenaran.
Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme
harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris
harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.
DAFTAR
PUSTAKA
S.Praja.Juhaya,Aliran-aliran
filsafat dan etika.Cet II;Jakarta:Prenada Media 2003.
Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum.
Cet V; Jakarta: RajaGrafindo Persada.2003.
Muslih, Mohammad. Filsafat
Ilmu. Jogjakarta: Belukar, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar